Mengenang Kerusuhan
Sampit (KALTENG)
Februari 2001
Kenapa sih tragedi
ini susah tergerus oleh waktu? jawabannya tidak lain adalah karena tragedi ini
merupakan tragedi terparah sepanjang pertikaian antar etnis di Indonesia. Tidak
hanya banyak menelan korban jiwa, namun kesadisan, kengerian kerusuhan ini juga
menjadi faktor susahnya untuk dilupakan.Sekali
lagi, informasi yang saya share ini tidak
bertujuan untuk menyinggung/mendiskriminasikan pihak manapun asal kita dapat
hidup berdampingan yang saling menghormati, saya yakin kejadian ini tidak akan
terulang lagi.
Asal Usul Penyebab
Terjadinya
Asal Usul Penyebab
Terjadinya Tragedi Sampit hingga saat ini masih simpang siur. Saya bertanya
dari berbagai narasumber dan searching di Google, hasilnya berbeda-beda
pendapat. Ada yang mengatakan tragedi ini berawal dari kasus pencurian ayam,
kasus perkelahian remaja antar etnis, kasus kesenjangan sosial, dll. Namun dari
berbagai pendapat itu, saya bisa menyimpulkan bahwa tragedi kerusuhan sampit
ini sebenarnya berawal dari masalah sepele/kecil yang bisa diselesaikan secara
kekeluargaan atau jalur hukum yang ada tanpa harus mengorbankan ratusan bahkan
ribuan nyawa. Akan tetapi masalah - masalah sepele itu terjadi berulang-ulang
dan tanpa penyelesaian yang maksimal, sehingga menimbulkan suasana yang rentan
akan konflik yang lebih besar. Dari beberapa sumber ada beberapa kasus yang
telah terjadi berlarut-larut hingga memuncak pada kerusuhan sampit.
- 1972, Palangka Raya, seorang gadis Dayak digodai dan diperkosa, terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.
- 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan / penyelesaian secara hukum tidak ada.
- 1983, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh (perkelahian 1 (satu) orang Dayak dikeroyok oleh 30 (tigapuluh) orang madura). Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
- 1996, Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam (sadis) oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.
- 1997, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua, tindakan hukum terhadap orang Dayak: dihukum berat. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri. dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya.
- 1997, Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura yang tukang jualan sate sih anak tersebut mati secara mengenaskan, ditubuhnya terdapat lebih dari 30 (tigapuluh) bekas tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Yang tidak dapat dikejar oleh si tukang sate itu, si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian.
- 1998, Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh 4 (empat) orang Madura, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri dan korbannya meninggal, tidak ada penyelesaian secara hukum.
- 1999, Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya. Namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
- 1999, Palangka Raya, seorang suku Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura, masalah sengketa tanah; 2 (dua) orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua, sedangkan pembunuh lolos, malah orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
- 1999, Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura, gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada ke dua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
- 1999, Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama IBA oleh 3 (tiga) orang Madura; pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya, biaya operasi /perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Para pembacok / pelaku tidak ditangkap. katanya? sudah pulang ke pulau Madura sana. (Tiga orang Madura memasuki rumah keluarga IBA dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu IBA menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
- 2000, Pangkut, Kotawaringin Barat, 1 (satu) keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
- 2000, di Palangka Raya, 1 (satu) orang suku Dayak di bunuh / mati oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
- 2000, Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur / lari, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya? sudah lari ke Pulau Madura, proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
- 2001, Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh / dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak
- 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.
“Sebelum
lanjut cerita berikutnya, admin berharap tidak ada yang menganggap berita ini
adalah sara. Kejadian demi kejadian di atas di paparkan bukan karena melihat
dari satu sisi saja dan info ini tidak untuk saling memfitnah atau sejenisnya
tapi hanya untuk sebagai pengingat dan pelajaran bagi kita agar tidak terulang
kembali kejadian mengerikan seperti ini.”
Kejadian-Kejadian Sebelum Puncak Kerusuhan (Perang Terbuka antara Dayak dan Madura)
- Tanggal 18 Februari 2001
- Pkl.01.00 WIB terjadi peristiwa pertikaian antar etnis diawali dengan terjadinya perkelahian antara Suku Madura dengan kelompok Suku Dayak di Jalan Padat Karya, yang mengakibatkan 5 (lima) orang meninggal dunia dan 1 (satu) orang luka berat semuanya dari Suku Madura.
- Pkl. 08.00 WIB terjadi pembakaran rumah Suku Dayak sebanyak 2 (dua) buah rumah yang; dilakukan oleh kelompok Suku Madura dan 1 (satu) buah rumah Suku Dayak dirusak dan dijarah oleh kelompok Suku madura. Kejadian ini mengakibatkan 3 (tiga) orang meninggal semuanya dari Suku Dayak.
- Pkl. 09.30 WIB pengiriman Pasukan Brimob Polda dari Kalimantan Selatan sebanyak 103 personil dengan kendali BKO Polda Kaliteng untuk pengamanan di Sampit dan tiba Pkl. 12.00 WIB
- Pkl. 10.00 WIB sebanyak 38 (tiga puluh delapan) orang tersangka dari kelompok Suku Dayak atas kejadian tersebut di atas diamankan ke MAPOLDA Kalteng di Palangka Raya dan menyita beberapa macam senjatantajam sebanyak 62 buah.
- Pkl. 20.30 WIB ditemukan 1 (satu) orang mayat dari kelompok Suku Dayak di Jalan Karya Baru, Sampit.
- Tanggal 19 Februari 2001
- Pkl. 02.00 WIB terjadi pembakaran 1 (satu) buah mobil Kijang milik Suku Madura di Jalan Suwikto, Sampit.
- Pkl. 16.00 WIB ditemukan mayat sebanyak 4 (empat) orang dan 1 (satu) orang luka bakar semuanya dari Suku Dayak di Jalan Karya Baru, Sampit.
- Pkl. 17.00 WIB diadakan sweeping oleh Petugas aparat keamanan terhadap kelompok Suku Madura dan kelompok Suku Dayak di Sampit.
- Penangkapan 6 (enam) orang Suku Dayak tersangka berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap tersangka yang telah ditahan sebelumnya, dan diamankan di Polres Kotim.
- Pkl. 22.00 WIB Wakil Gubernur Kalimantan Tengah dan DANREM 102/PP bersama; pasukan dari Yonif 631/ATG sebanyak 276 orang menuju Sampit dan tiba Pkl. 03.00 WIB.
- Pada tanggal 18 dan 19 Februari 2001 kota Sampit sepenuhnya dikuasai oleh Suku Madura yang menggunakan senjata tajam dan bom molotov.
- Tanggal 20 Februari 2001
- Pkl. 08.30 WIB diadakan pertemuan antara DANREM 102/PP, KAPOLDA dan Wakil Gubernur dan MUSPIDA Kabupaten Kotawaringin Timur dengan tokoh masyarakat di Sampit ( Tokoh Dayak, Madura dan Tokoh Masyarakat Sampit) untuk mengupayakan penghentian pertikaian dan dilanjutkan dengan pemantauan ke lokasi pertikaian dengan mengadakan dialog dengan warga yang bertikai.
- Warga yang ketakutan karena kerusuhan dan sweeping disertai pembakaran rumah yang dilakukan oleh Suku Madura terhadap Suku Dayak mengungsi ke Gedung Balai Budaya Sampit, Gedung DPRD Kotawaringin Timur dan Rumah Jabatan Bupati Kotawaringin Timur sebanyak 702 KK (2.850 orang) bukan Suku Madura dan sebagian warga non Madura mengungsi ke Palangka Raya.
Kronologis Perang
Terbuka antara Dayak dan Madura
18 Februari warga
Madura mula menguasai Sampit. Dengan mengacung-acungkan senjata, puluhan
warga Madura pawai keliling kota. Mereka menggunakan berbagai kendaraan, mulai
roda dua sampai roda empat. Mereka tak hanya berpawai. Setiap bertemu warga
Dayak, mereka mengejar dan membunuhnya. Sedikitnya, sepuluh rumah dibakar.Tujuh
orang tewas saat warga Madura menguasai Sampit. Bahkan, seorang ibu muda hamil
tujuh bulan ikut dibunuh dengan dirobek perutnya. “Itu fakta,” kata Bambang
Sakti, tokoh muda Dayak asal Sungai Samba. Situasi itu membuat Sampit Minggu
malam mencekam. Listrik padam total. Pembakaran di perkampungan warga di Jalan
Baamang berlangsung sporadis. Pengungsi mulai membanjiri gedung pertemuan di
depan rumah jabatan bupati sampit. Tapi, kemudian dialihkan ke kantor bupati.
Yang mengungsi bukan hanya warga Madura. Juga Dayak dan Cina. Mereka
berdesak-desakan mengungsi. Ini terjadi karena mereka belum tahu betul siapa
yang menguasai jalanan di Sampit malam itu: Madura atau Dayak. Di
pengungsian, Madura dan Dayak malah rukun. “Saya saat itu ikut mengungsi; ujar
seorang wartawan lokal. Untuk menghadang orang Dayak keluar-masuk Sampit, warga
Madura melakukan penjagaan di pertigaan Desa Bajarum yang mengarah kota
Kecamatan Kota Besi. Penjagaan juga terjadi di Perenggean, Kecamatan Kuala
Kuayan, dan desa-desa pedalaman Hilir Mentayan. Selama berpawai itu, warga
Madura terus berteriak-teriak mencari tokoh Dayak. “Mana Panglima Burung? Mana
tokoh Dayak?” tantang mereka.
Tak hanya itu,
seorang tokoh Madura melakukan orasi lewat pengeras suara, “Sampit akan jadi
Sampang kedua, Sampit jadi Sampang Kedua”. Mereka juga memasang spanduk:
Selamat datang orang Dayak di kota Sampang, Serambi Mekkah. “Spanduk itu yang
kami cari sekarang,” kata Bambang Sakti. Bambang juga bilang telah menemukan
sejumlah bom di rumah-rumah warga Madura. “Ini bukan isapan jempol,” tuturnya.
Sedikitnya, pasukan Dayak sudah menyerahkan 300 bom yang ditemukan di rumah
warga Madura. Begitu juga beberapa pucuk pistol. “Tidak tahu bagaimana tindak
lanjutnya,” jelasnya. Kabarnya, bom-bom itu dirakit di Jawa, lalu dikirimkan ke
Sampit. Tapi, sumber Jawa Pos menyebutkan, bom rakitan dibuat di Sampit. Lalu,
didistribusikan ke berbagai warga Madura di kecamatan. Mereka bilang bom itu
untuk mempertahankan diri jika sewaktu-waktu diserang warga Dayak. Tapi, karena
bom itu pula, 112 warga Madura di Kecamatann Perenggean dibantai di lapangan
kecamatan. Ini setelah warga Dayak menemukan bom di rumah seorang warga Madura Melihat aksi
penguasaan warga pendatang itu, warga Dayak tak tinggal diam. Mereka lantas
membawa bala bantuan pasukan dari Dayak pedalaman. Warga Dayak yang tiba lebih
dulu melakukan perlawanan sporadis.
Selasa malam (20
Februari), peta kekuatan mulai berbalik. Warga Dayak pedalaman dari berbagai
lokasi daerah aliran sungai (DAS) Mentaya,seperti Seruyan, Ratua Pulut,
Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito berdatangan ke kota Sampit melalui
hilir Sungai Mentaya dekat pelabuhan. Pasukan Dayak pedalaman yang
rata-rata berusia muda tak lebih 25 tahun membekali diri dengan berbagai ilmu
kebal. Jumlahnya sekitar sekitar 320 orang. Pasukan itu lalu menyusup ke daerah
Baamang dan sekitarnya, pusat permukiman warga Madura. Meski dalam jumlah
kecil, kemampuan bertempur pasukan khusus Dayak sangat teruji. Buktinya, mereka
mampu memukul balik warga Madura yang terkosentrasi di berbagai sudut jalan
Sampit. Dengan ilmu kebal, mereka melawan ribuan warga Madura. Bahkan, mereka
sanggup menghadapi bom yang banyak digunakan warga Madura.
Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak. Tapi, bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan warga Madura tewas seketika. Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan ditembak. Mereka justru memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga keder. Sejak itu, mental Madura pun langsung down. Strategi yang diterapkan warga Dayak dalam serangan balik cukup jitu. Selain masuk lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung merapat ke bibir sungai. Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota pinggir sungai di tepian kota Sampit. Strategi ini untuk menghindari pengawasan orang Madura. Lantas, secara tiba-tiba, mereka muncul dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman terus bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tak luput dari sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh. Sebagian lari. Sejumlah becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah yang hancur. Rumah tokoh Madura lain seperti Haji Satiman dan Haji Ismail juga dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat Nabi yang dikenal sebagai jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di Sampit, Samuda, maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan pasukan inti Dayak kemudian diikuti warga Dayak lain. Mereka mencari rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga Madura dibunuh secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.
Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar. Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura. “Dari jarak sekitar 200 meter, baunya sudah tercium,” ujar Itu tak berlebihan. Saat ada evakuasi, di tengah jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non Madura. Sebelum masuk ke loksi penampungan, mereka kena sweeping Dayak. Meski orang itu ada di tengah pengungsi, masih juga tercium dan disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai. Agar serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando warga Dayak menggunakan Hotel Rama sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu kekebalan oleh para panglima. Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala manusia. Tapi, para tokohnya sempat meloloskan diri. Kini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police line. Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke berbagai kota Kecamatan Kotawaringin Timur. Sasaran pertama, Samuda, ibu kota Kecamatann Mentaya Hilir Selatan, dan Parebok yang banyak dihuni warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit karena banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes Libasu Taqwa. Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat berlindung banyak warga Madura. Warga Madura di kecamatan lain pun tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan korban jatuh dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman karena hampir tak ada warga Madura yang tinggal di semua kota kecamatan. Penghuninya, saat itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke hutan, baik Palangkaraya, Sampit, maupun Samuda.
Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak. Tapi, bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan warga Madura tewas seketika. Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan ditembak. Mereka justru memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga keder. Sejak itu, mental Madura pun langsung down. Strategi yang diterapkan warga Dayak dalam serangan balik cukup jitu. Selain masuk lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung merapat ke bibir sungai. Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota pinggir sungai di tepian kota Sampit. Strategi ini untuk menghindari pengawasan orang Madura. Lantas, secara tiba-tiba, mereka muncul dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman terus bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tak luput dari sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh. Sebagian lari. Sejumlah becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah yang hancur. Rumah tokoh Madura lain seperti Haji Satiman dan Haji Ismail juga dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat Nabi yang dikenal sebagai jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di Sampit, Samuda, maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan pasukan inti Dayak kemudian diikuti warga Dayak lain. Mereka mencari rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga Madura dibunuh secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.
Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar. Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura. “Dari jarak sekitar 200 meter, baunya sudah tercium,” ujar Itu tak berlebihan. Saat ada evakuasi, di tengah jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non Madura. Sebelum masuk ke loksi penampungan, mereka kena sweeping Dayak. Meski orang itu ada di tengah pengungsi, masih juga tercium dan disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai. Agar serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando warga Dayak menggunakan Hotel Rama sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu kekebalan oleh para panglima. Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala manusia. Tapi, para tokohnya sempat meloloskan diri. Kini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police line. Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke berbagai kota Kecamatan Kotawaringin Timur. Sasaran pertama, Samuda, ibu kota Kecamatann Mentaya Hilir Selatan, dan Parebok yang banyak dihuni warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit karena banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes Libasu Taqwa. Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat berlindung banyak warga Madura. Warga Madura di kecamatan lain pun tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan korban jatuh dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman karena hampir tak ada warga Madura yang tinggal di semua kota kecamatan. Penghuninya, saat itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke hutan, baik Palangkaraya, Sampit, maupun Samuda.
Total Jumlah Korban
Kerusuhan Sampit
Dalam pelayaran
menyusuri Sungai Mentaya (70 km), ABK dan pengungsi bisa Melihat puluhan mayat
yang mengapung di sepanjang sungai, dan sejumlah Bangunan rumah warga Madura
dan Pasar Sampit/Pasar Ganal yang tinggal temboknya yang hangus. Dikatakan
seorang pengungsi yang bekerja di penggergajian kayu, PT Sempagan Raya Sampit,
Abdul Sari (30), bahwa yang tampak di sungai saja ada puluhan yang mengapung
dan tersangkut di pinggir. Sementara yang hanyut dan tenggelam lebih dari 200
warga etnis Madura. “Ini baru yang di sungai, belum yang terserak di pinggir
sepanjang Jl. Masjid Nur Agung saja tidak kurang dari 200 mayat,” katanya.
Sementara di Jl. Sampit Pangkalan Bun, saat ini masih banyak mayat yang
bergelimpangan di tepi jalan. Mayat-mayat itu hanya ditutupi dengan batu koral
yang dibungkus karung sak. Tidak ada yang menolong untuk dimakamkan, kami tidak
mungkin untuk melakukan itu. Sedang untuk bisa lolos dari kejaran dan tebasan
mandau Dayak saja sudah bersyukur. Abdul Sari juga mengatakan, sekarang pasukan
Dayak tidak lagi membedakan siapa yang akan dibunuh. Awalnya yang diserang
hanya etnis Madura, tapi kini semua pendatang, termasuk orang Jawa, dan Cina.
Mereka bukan hanya ditebas lehernya saja, tapi juga dipenggal jadi beberapa
potong. Di mata etnis Madura, polisi setempat sudah kehilangan kepercayaannya
lagi. Mereka (warga etnis Madura) mengaku, siangnya di sweeping dan senjatanya
disita petugas, dan mereka (petugas) mengatakan, semua sudah aman dan tidak ada
apa-apa lagi. Maka warga etnis Madura di Jl. Sampit Pangkalan Bun tenang-tenang
saja dan percaya pada petugas. Ternyata malamnya diawali dengan suara kuluk,… kuluk,…
kuluk,… sebentar kemudian pasukan Dayak muncul dan membunuhi warga Madura.
Tidak ada yang
tersisa, mereka yang menyerah maupun yang lari dibunuh. Umumnya mereka diserang
pada malam hari, ratusan Dayak dengan suara kuluk…, kuluk…, sambung-menyambung
muncul dari segala penjuru. Esoknya warga etnis Madura mati mengenaskan dengan
badan tanpa kepala lagi. Parebuk Menurut warga etnis Madura yang ikut KRI Teluk
Ende, Sopian (56), warga yang banyak mati dari daerah Parebuk, Semuda. Karena
warga Madura yang ada di sini tidak menghindar tapi melakukan perlawanan
sengit. “Saat ini di sana yang tersisa tinggal wanita dan anak-anak,” kata
Sopian. Sopian yang datang ke pengungsian dengan jalan menyusuri sungai
mengatakan, dia berjalan sambil sembunyi-sembunyi di antara pohon hutan yang
cukup lebat. Ternyata setelah 7 hari di pengungsian ia hanya melihat beberapa
warga Madura dari Semuda. Berarti ada sedikitnya 500 orang Madura yang tewas
melawan Dayak di Semuda. “Kalau masih hidup seharusnya perjalanan mereka tidak
lebih dari satu atau dua hari saja,” kata Sopian. Sopian bersama pengungsi lain
yang ada di pengungsian pun mengaku masih dibayang-bayangi pasukan suku Dayak.
Bahkan ada isu bahwa kamp pengungsian di halaman Pemda Sampit akan diserbu oleh
Dayak. Hal ini membuat warga Madura yang ada di pengungsian menjadi resah, di
samping mereka sudah ketakutan, juga mereka sudah tidak memiliki senjata lagi.
Menurut Kilan, sejumlah orang Dayak membawa mayat orang Madura dengan geledekan
keliling kota. Tidak sampai di situ, geledekan yang berisi orang Madura
ditinggal begitu saja di depan Polres Sampit, Jl. Sudirman.Kekesalan warga
Madura terhadap oknum polisi di Polsek Jl. Ba Amang Tengah semakin menjadi,
seperti yang diungkapkan oleh Somad yang mendatangi kantor Polsek. Ia minta
perlindungan setelah dikejar-kejar oleh sekitar 50 Dayak, Somad minta diantar
ke tempat pengungsian. Kapolsek bukannya menolong tapi justru memanggil Dayak
yang ada di sekitar situ. Somad mengaku lari ke belakang, dengan melompat lewat
pintu belakang Polsek ia akhirnya lolos lari ke semak-semak. Ia sempat
merangkak sejauh 300 m sebelum lepas dari kejaran Dayak dan lari ke hutan. Dari
hutan ini ia menyusuri tepian hutan dan akhirnya sampai ke tempat pengungsian.
Ia pun bersyukur karena bisa ketemu dengan anak istrinya. Seorang pengungsi,
Choiri (40), dari Pasuruan mengatakan, ada peristiwa yang sangat mengenaskan
dari daerah Belanti Tanjung Katung, Sampit. Sebanyak 4 truk pengungsi
Parengkuan yang dibawa oleh orang yang mengaku petugas dengan mengatakan akan
dibawa ke tempat penampungan pengungsi di SMP 2, akhirnya dibantai habis.
Ternyata mereka yang mengaku petugas adalah pasukan Dayak, orang Madura disuruh
turun dan dibantai. “Jika tiap truk berisi 50 pengungsi berarti ada 200
pengungsi yang tewas dibantai,” kata Choiri. Choiri mengatakan, yang dibantai
itu semuanya wanita dan anak anak.
Begitu jemputan
yang kedua tiba, yang diangkut adalah orang laki-laki dewasa, justru mereka
selamat tidak di tempat pengungsian karena dikawal oleh Brimob dari Jakarta.
Liar Pengakuan seorang pengungsi, Titin (19), asli Lumajang, yang tinggal di
Jl. Pinang 20 Sampit mengatakan, suaminya yang asli Dayak Kapuas yang kini ikut
pasukan Dayak. Ia menceritakan, suaminya pernah bercerita padanya, mengapa
orang Dayak menjadi pandai berkelahi dan larinya cepat bagai kijang. Awalnya
suaminya enggan menjadi pasukan Dayak untuk membunuhi orang Madura. Tapi karena
dihadapkan pada satu di antara dua pilihan, jadi pasukan atau mati, terpaksa
suaminya memilih jadi pasukan Dayak. Saat itu ia disuruh minum cairan yang
membuatnya ia menjadi berani, kemudian alisnya diolesi dengan minyak yang
membuat ia melihat bahwa orang Madura itu berwujud anjing dan akhirnya harus
diburu dan dibunuh. Makanya orang Dayak tidak punya takut, tidak punya rasa
kasihan, ini menurut Titin karena sudah diberi minuman dan olesan minyak
tertentu. Sehingga mereka mirip dengan jaran kepang yang sedang kesurupan,
mungkin mereka kerasukan roh nenek moyangnya dan membunuh sesuai dengan
perintah panglima perang suku Dayak. (R Dewanto Nusantoro)
Akhir Konflik
Kerusuhan sampit
yang menjalar hingga kesegala penjuru kalimantan tengah benar-benar berakhir
sekitar bulan Maret pertengahan. Untuk memperingati akhir konflik ini dibuatlah
perjanjian damai antar suku dayak dan madura. Perjanjian itu tertulis dalam
sebuah buku yang berisi beberapa persyaratan dan hal-hal lainnya. Selain itu
untuk memperingati perjanjian damai itu, dibangun sebuah tugu perdamaian di
Sampit.
Tambahan:
- Hingga saat ini di kota Sampit masih terlihat bekas-bekas kerusuhan 13 Tahun silam, bekas pembakaran rumah, gedung, dan rumah2 kosong yang tak jelas penghuninya
- Terdapat kuburan masal bagi korban kerusuhan sampit, jika ingin inforasi lebih detail mengenai kuburan masal korban tragedi sampit
- Ketika terjadi kerusuhan para pasukan dayak mengidentikan dirinya dengan kain berwarna merah yang diikat di kepala/senjata yg digunakan.
- Tidak sampai 1 tahun dari akhir kerusuhan, orang-orang madura mulai berdatangan ke sampit lagi.
- Setelah akhir kerusuhan presiden Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan ke Sampit.
- Sejak akhir kerusuhan hingga sekarang Sampit mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat baik dibidang ekonomi maupun industri.
- Sampit kini menjadi kota yang damai, sejahtera, penduduknya rukun, dan jangan takut ketika mendengar kata ''Sampit''. Jangan takut juga untuk berkunjung atau berwisata ke kota Sampit.
Nah itu tadi informasi
terkait Asal Mula Penyebab Kerusuhan Sampit (KALTENG). Semoga dengan
informasi ini kita bisa menjadi lebih baik dan harmonis dalam berhubungan antar
etnis yang berbeda. Terima kasih.
NB ; SUMBER ARTIKEL DIATAS DIAMIL DARI BERBAGAI SITUS....
Official : xperianewz.blogspot.com
© Pemilik Situs : Jeremi Hutapea
(-) 0813 – 4848 – 8987 / 0812 – 6263 - 7657
(*) Facebook : Jeremi Hutapea
(*) Twitter : jeremihutapea
(*) Instagram : Jeremi Hutapea
NB ; SUMBER ARTIKEL DIATAS DIAMIL DARI BERBAGAI SITUS....
Official : xperianewz.blogspot.com
© Pemilik Situs : Jeremi Hutapea
(-) 0813 – 4848 – 8987 / 0812 – 6263 - 7657
(*) Facebook : Jeremi Hutapea
(*) Twitter : jeremihutapea
(*) Instagram : Jeremi Hutapea
No comments:
Post a Comment